Setiap luka yang ia obati menyisakan bayangan: tentang dirinya yang tak benar-benar pulih.
Setiap luka yang ia tutup, adalah pengingat akan luka yang tak pernah sembuh di dalam dirinya.
Dalam diamnya, ada ruang untuk, berteduh—dan napas baru bagi hati yang nyaris padam.
Nama
Dira Sadewa ArdanaTempat Lahir
JakartaTanggal Lahir
07 September 1984MBTI
INFJSign
VirgoReligion
KatolikTinggi
187 cmberat
73 kg
PENDIDIKAN DASAR & MENENGAH |
1996 – 2002 — BPK Penaburan Bekasi |
PENDIDIKAN KEDOKTERAN |
2002 – 2006 — Sarjana Kedokteran, Universitas Indonesia |
2006 – 2008 — Koasistensi di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) |
UJIAN & INTERNSHIP |
2008 — Lulus UKMPPD, resmi menjadi dokter umum |
2008 – 2009 — Internship di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur |
PENDIDIKAN SPESIALIS BEDAH (Sp.B) |
2009 – 2014 — PPDS Bedah Umum, FKUI & RSCM |
2014 — Lulus sebagai Dokter Spesialis Bedah (Sp.B) |
PENDIDIKAN LANJUTAN: SUBSPESIALIS & STRATA LANJUT |
2015 – 2018 — Subspesialis Bedah Digestif, FKUI & RSCM |
2019 – 2021 — M.Sc in Public Health, Universitas Indonesia (paruh waktu) |
KARIER MEDIS |
2014 – 2015 — Dokter Spesialis Bedah Umum, RSUD Tarakan Jakarta |
2015 – 2018 — Residen Subspesialis Bedah Digestif, praktik terbatas di RSCM |
2018 – 2021 — Dokter Konsultan Bedah Digestif & Pengembang Program Skrining Kanker Kolorektal, RS Jiwatma Jakarta |
2021 – sekarang — Kepala Divisi Layanan Medis dan Akademik, RS Jiwatma Jakarta |
Dira Ardana: Tak ada warisan selain keberanian landasannya tuk berdiri tegak.
Aku lahir sebagai anak pertama dalam keluarga yang sejak awal lebih dekat pada buku daripada boneka atau sepeda. Papaku, Indra Santoso Ardana, adalah seorang akademisi asal Surabaya yang menempuh studi master di London dalam bidang kebijakan kesehatan global. Ia dibesarkan dalam rumah yang dikelilingi pemikiran sistematis dan tradisi intelektual: kakekku, seorang dosen kesehatan masyarakat, percaya bahwa ilmu bukan sekadar catatan di kertas, tapi alat untuk mengubah cara manusia memperlakukan sesamanya.Rumah masa kecilku pun tak jauh berbeda—rak buku memenuhi hampir seluruh dinding, dan suara gamelan dari kaset pita kadang terdengar dari ruang kerja Papa. Papa perlahan meniti karier di pemerintahan, dari konsultan riset hingga kini menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Kesehatan Komunitas dan Budaya di Kementerian Kesehatan. Meski ruang kerjanya kini di Senayan, nilai-nilai yang ia tanam di rumah tetap sama: hidup sederhana, berpikir tajam, dan selalu kembali ke masyarakat.Mamaku, Tjokorda Istri Amalini Lintang, membawa sisi berbeda yang tak kalah kuat. Ia adalah seorang dokter, sekaligus pemegang Yayasan Jiwatma Heritage Care—sebuah lembaga sosial dan budaya milik keluarga Tjokorda di Bali. Lahir dari garis bangsawan Jembrana, Mama tumbuh dalam dua dunia: istana kecil penuh aturan adat dan rumah praktik tempat ia melihat luka-luka rakyat desa. Dari situ, ia belajar bahwa martabat manusia tak bisa ditentukan oleh gelar, tapi oleh cara kita hadir untuk orang lain. Dan mungkin, itulah sebabnya Mama memilih jalannya sebagai tenaga medis, bukan sekadar pewaris.Aku dan kedua adikku, Mahesa dan Dalilah, tumbuh dalam keseharian yang nyaris teratur—penuh disiplin tapi tak kaku, penuh diskusi tapi tak mendikte. Mahesa lebih menjejak tanah, tak terlalu peduli nilai atau ranking. Ia memilih bidang legalitas dan sekarang bekerja di sektor Legal yayasan Jiwatma Heritage Care. Dalilah, si bungsu, lebih lembut, penyayang binatang, ketertarikan besar pada pendidikan remaja—mungkin akan meneruskan misi Ibu di yayasan suatu hari nanti.Aku sendiri memilih jalan kedokteran bukan karena paksaan, melainkan karena merasa itu hal paling wajar di tengah rumah yang selalu bicara soal kesehatan dan masyarakat. Tapi aku juga tahu aku tak ingin hanya jadi dokter biasa. Maka aku memilih bidang yang sepi, teliti, dan tak banyak orang berani masuk: bedah digestif. Di situlah aku belajar tentang diam, tentang detik-detik rapuh di antara hidup dan mati, dan tentang bagaimana bahkan tubuh manusia pun bisa salah paham pada dirinya sendiri.Kami bukan keluarga yang suka drama. Kami tak sering berpelukan atau berkata “aku bangga padamu.” Tapi Mama kadang mampir ke rumah sakit hanya untuk menitipkan makanan hangat. Papa duduk diam di barisan belakang setiap kali aku jadi pembicara. Dan adik-adikku mengirim catatan kecil tiap aku habis operasi sulit, seolah hanya ingin bilang: Kami tahu kamu belum tidur. Tapi kami juga tahu kamu belum selesai.Dan mungkin, di sanalah kekuatan keluarga ini—bukan dari siapa kami di atas kertas, tapi dari siapa kami ketika tak ada yang melihat. Karena yang membuat seseorang bertahan bukan gelarnya, tapi untuk siapa ia memilih tetap berdiri.
Untuk semua kisah yang ia tulis: yang menyembuhkan dan yang meninggalkan luka.
Aku tak pernah menduga, bahwa mengantar seorang teman untuk mencoba gaun pengantin bisa menjadi simpul awal dari sebuah kisah panjang—kisah yang tak pernah kurencanakan, namun kupeluk sepenuh hati.Dia—perancang gaun itu—terlalu muda untuk membangun sesuatu sekuat yang akhirnya kami bangun. Tapi mungkin justru karena itu, segalanya tumbuh begitu luwes, tak terbebani ambisi. Tawa pertamanya menyapa ruang kerjanya yang penuh kain putih dan pola-pola kertas di lantai. Aku yang awalnya hanya duduk dan menunggu, akhirnya ikut bicara, tertawa, dan pulang membawa sesuatu yang tak kusebut apa-apa dulu. Mungkin benih.Hubungan kami berkembang lambat, hati-hati, namun pasti. Kami menikah di tahun 2018. Di hari pernikahan itu, aku ingat dia mengenakan karyanya sendiri—aku ingat karena aku yang memasangkan kancing belakangnya. Setelah itu kami tinggal di rumah kecil yang kutinggali sejak awal jadi dokter. Dia menata ulang warnanya. Aku membiarkannya.Kami tak buru-buru soal anak. Tapi saat akhirnya itu datang, rasanya seperti dunia membuka tirai barunya. Pagi kami lebih ramai, malam lebih lembut. Ada tawa kecil yang menempel di tembok, aroma susu hangat yang tinggal lebih lama di dapur. Kami membangun dunia kecil yang hanya kami tahu caranya.Tapi dunia kecil itu tak bertahan. Suatu malam, ia sakit. Muntah. Rewel. Awalnya kuanggap biasa. Flu perut. Aku dokter, bukan? Tapi malam itu aku bukan dokter. Aku ayah. Dan aku... salah.Semua bergerak cepat. Terlalu cepat. Rumah sakit. Obat. Ruang operasi. Dan sunyi. Tak ada yang lebih sunyi dari tangan yang tak lagi menggenggam.Setelah itu, kami tinggal di rumah yang sama, tapi bukan pasangan yang sama. Sarapan jadi senyap. Lampu tidur jarang dimatikan. Kami bicara seadanya, secukupnya. Ia kadang menangis di kamar mandi. Aku kadang menangis di mobil.Kami sempat mencoba terapi. Tiga kali duduk di ruangan yang bau lavender, menjawab pertanyaan yang terlalu pelan dan menatap mata masing-masing yang terlalu jauh. Kami berhenti. Aku tahu kami berhenti.Waktu berjalan, tapi kami tak bergerak. Dan kini, Juli datang. Ia akan mengajukan gugatan cerai. Aku belum tahu kapan pastinya, tapi aku tahu. Aku tahu dari cara ia tak lagi mengecek jam tangan saat aku pulang terlambat. Dari cara ia tak lagi menutup laptop saat aku masuk kamar. Dari hening yang tak lagi menawarkan pelukan.Dan aku tak marah. Hanya kosong. Kosong seperti kamar yang pernah kami lukis bersama dan sekarang tertutup terus.Entah kenapa aku memikirkan pohon mangga kecil di halaman. Dulu kami tanam sama-sama, katanya biar nanti bisa ngasih buah ke anak kita. Daunnya mulai rontok. Aku belum sempat menyiramnya minggu ini.
Trivia.
1. Dira paling benci suara piring atau sendok gesek di keramik. Baginya itu lebih menyiksa dari suara alarm jam lima pagi. |
2. Waktu kecil, Dira sempat trauma berat lihat darah setelah kecelakaan kecil yang dialami adiknya. Ironisnya, pengalaman itu justru yang menanamkan rasa tanggung jawab dan dorongan untuk belajar menguasai rasa takut—hingga akhirnya menjadikannya dokter. |
3. Punya kebiasaan makan permen pelega tenggorokan saat tegang, bukan karena sakit, tapi karena terbiasa sejak koas. Dia selalu punya satu bungkus di saku jas dokternya. |
4. Dira pernah pacaran satu kali waktu kuliah, tapi putus karena dia “terlalu sibuk jadi orang benar.” Sejak itu, dia pikir lebih baik sendiri. |
5. Tipe yang gak bisa tidur di tempat orang lain kalau kasurnya ada selimut bermotif ramai. Dia akan gelisah dan malah duduk baca jurnal medis biar ngantuk. |
6. Suka dengerin musik klasik modern atau ambient instrumental waktu nyetir sendirian. Tapi kalau udah capek banget, dia nyetel lagu pop 2000-an yang liriknya dia hafal di luar kepala. |
7. Jarang marah, tapi kalau marah ekspresinya bukan teriak—melainkan sangat diam dan sangat dingin. Teman-temannya menyebut itu “mode freezer.” |
8. Nggak suka kopi manis. Kopi buat dia bukan comfort drink, tapi “fungsi”—kayak bensin buat otak. Satu shot espresso, tanpa basa-basi. |
9. Dia suka menata rapi barang-barang orang lain diam-diam. Terutama kalau ngelihat meja kerja berantakan—dia gak ngomel, tapi tiba-tiba kertas udah dibundel dan kabel digulung. |
10. Dira tidur harus dalam gelap total. Tapi anehnya, waktu Dyah minta lampu tetap nyala semalaman karena takut gelap, Dira gak komplain. Malam itu justru dia tidur paling lelap. |
11. Setelah anaknya meninggal, Dira gak masuk kamar itu selama berbulan-bulan. Tapi dia tetap nyiram tanaman kecil di jendela kamar itu setiap pagi, seolah ada yang masih perlu tumbuh. |
12. Satu-satunya foto Dira yang benar-benar tersenyum tulus adalah foto candid waktu Dyah tertawa sampai nangis karena hal sepele. Foto itu disimpan ibunya di lemari dapur, katanya “supaya pagi-pagi bisa lihat anak saya bahagia.” |